Filsafat Pendidikan
A.
Definisi Filsafat
Pendidikan
Menurut Al-Syaibany dalam
Jalaludin & Idi (2007: 19), filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan
dapat menjelaskan nilai-nilai dan
maklumat-maklumat yang diupayakan untukmencapainya. Dalam
hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan
sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan
menitikberatkan pada pelaksanaan
prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan-persoalan pendidikan secara
praktis.
Sementara Dewey dalam Jalaludin & Idi (2007: 20) menyampaikan bahwa filsafat pendidikan merupakan
suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia. Sementara menurut Thompson (Arifin, 1993: 2), filsafat
artinya melihat suatu masalah secara total dengan tanpa ada batas atau implikasinya; ia tidak hanya melihat tujuan, metode atau alat-alatnya, tapi juga
meneliti dengan saksama hal-hal
yang dimaksud. Keseluruhan masalah yang dipikirkan oleh
filosof tersebut merupakan suatu upaya untuk menemukan hakikat masalah,
sedangkan suatu hakikat itu dapat dibakukan
melalui proses kompromi.
Lebih jauh Barnadib (Jalaludin & Idi, 2007: 20), menyatakan
bahwa filsafat pendidikan merupakan ilmu
yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu
analisis filosofis terhadap
bidang pendidikan. Sedangkan menurut seorang ahli filsafat Amerika,
Brubachen (Arifin, 1993: 3), filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah
kereta di depan seekor kuda, dan
filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri
secara bebas dengan memperoleh
keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum. Kendati kaitan ini tidak penting, tapi yang terjadi ialah
suatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering
diartikan sebagai teori pendidikan
dalam segala tahap. Lebih jauh, Alwasilah (2008: 15) menyatakan
bahwa filsafat pendidikan dapat didefinisikan sebagai teori yang mendasari alam
pikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan.
Berdasarkan uraian diatas
dapat kita tarik pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan
normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma dan atau ukuran
tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup
dan kehidupannya.
Filsafat pendidikan
merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan. Seperti halnya filsafat,
filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskriptif, dan analitik.
Filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif karena berusaha membangun
teori-teori hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang sangat
bermanfaat dalam menafsirkan data-data sebagai hasil penelitian sains yang berbeda.
Filsafat pendidikan
dikatakan prespektif apabila filsafat pendidikan menentukan tujuan-tujuan yang
harus diikuti dan dicapainya, serta menentukan cara-cara yang tepat dan benar
untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, tujuan pendidikan
nasional yang tertian dalam UUSPN No.20 Tahun 2003 merupakan
pendidikan preskriptif, sebab menentukan tujuan atau target pendidikan yang
hendak dicapai. Filsafat pendidikan preskriptif ini sejalan dengan pendapat Ali
Khalil Abu ‘Ainaini yang mendefinisakan filsafat pendidikan sebagai kegiatan-kegiatan
pemikiran yang sistematis, diambil dari sistem filsafat sebagai cara untuk
mengatur dan menrangkan nilai-nilai tujuan pendidikan yang akan dicapai
(direalisasikan).
Filsafat pendidikan
dikatakan analitik apabila filsafat pendidikan menelaskan pertanyaan-pertanyaan
spekulatif dan preskriptif. Dengan kata lain, filsafat pendidikan analitik
mencoba menguji secara rasional tentang keabsahan dan kekonsistenan suatu ide
atau gagasan ihwal pendidikan. Contonya menguji dari sudut pandang
filsafat tentang konsep pendidikan seumur hidup, pendidikan luar sekolah, dan
sebagainya. Dengan demikian, filsafat pendidikan mengarahkan manusia
menjalankan tugas-tugasnya dalam merealisasikan pendidikan.
B.
Ruang
Lingkup Filsafat Pendidikan
Menurut Jalaludin &
Idi (2007: 24) secara
mikro yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.
Merumuskan
secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education);
2.
Merumuskan
sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the
nature of man);
3. Merumuskan
secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama dan kebudayaan;
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat
pendidikan, dan teori pendidikan;
5. Merumuskan
hubungan antara filsafat Negara (ideologi), filsafat
pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan);
6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral
pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.
Dengan demikian, dari uraian di atas diperoleh suatu
kesimpulan bahwa yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah
semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk
mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang
berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan
bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang
dicita-citakan.
C.
Implikasi Landasan Filsafat
Pendidikan
1.
Implikasi Bagi Guru
Apabila
kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat
pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja
professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin
kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa
dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia
melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan
dengan cara yang lain. Seorang guru didalam menunaikan tugasnya,
dalam proses kegiatan belajar mengajarnya harus dapat dipulangkan kepada
tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih
operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua
keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka
penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu
dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.
Dimuka juga telah dikemukakan
bahwa pendidik dan subjek peserta didik melakukan pemanusiaan diri ketika
mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan atau
pelatihan. Pendidikan atau pelatihan hanyalah tahap proses pemanusiaan yang
berbeda diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek peserta didik.
Kelebihan
yang dimiliki seorang pendidik seperti pengalaman, keterampilan dan wawasan
yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki.
Oleh karena itu maka kedua belah pihak diberikan kesempatan belajar baik untuk
tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Khusus untuk guru dan tenaga
kependidikan, mendapat kepercayaan dan juga tanggungjawab tambahan menyediakan
serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek peserta didik, mengoptimalkan
kesempatan bagi subjek peserta didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk
menjadi dirinya sendiri. Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu
membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi
perubahan-perubahan yang semakin lama semakin maju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya
maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan
fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia
dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi
manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus
menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi,
membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan
tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan
kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah
diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang
dikembangkan dan dibina.
Segala ketentuan prasarana dan
sarana di sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi
hakekat proses pembudayaan subjek peserta didik. Sarana dan prasarana yang
dibangun di sekolah merupakan pendukung untuk membentuk budaya pendidikan yang
sehat dan dinamis. Walaupun sarana dan prasarana telah memadai namun tidak
diimbangi dengan proses penanaman budaya pendidikan yang seimbang maka
perkembangan dan pembudayaan dalam peserta didik tidak akan tercapai dengan
baik.
Seperti telah diisyaratkan
dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didik akan
melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas
pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang
ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2.
Implikasi bagi Pendidikan Guru
dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah
berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang
pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita
masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu
prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada
bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita
terlibat dalam berbagai kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang
diperbaharui adalah peralatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal
diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada
diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu.
Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis
tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh.
Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat,
menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang
diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada
yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula
yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua
saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara
partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya,
belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru
dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang
memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan
didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civitas
akademik). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan
yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga
oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang
dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil kajian
interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian
uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu
asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi
program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud
merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun
didalam mempertahankan dan meningkatkan program.
Sumber :
https://fajarsubijakto.wordpress.com/2013/02/12/implikasi-landasan-filsafat-pendidikan-di-indonesia/