Dulu bernama
Tanggeran. Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang,
nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari
bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata "tengger" dalam bahasa
Sunda memiliki arti "tanda" yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai
tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17.
Oleh sebab itu, ada
pula yang menyebut Tangerang berasal dari kata Tanggeran (dengan satu g maupun
dobel g). Daerah yang dimaksud berada di bagian sebelah barat Sungai Cisadane
(Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung Jalan Otto Iskandar Dinata sekarang).
Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek
Banten, yang isinya sebagai berikut :
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala
Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung
Parahyang-Titi
Terjemahan dalam
bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha
Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan
pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita
memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas
Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu
Cidurian
Semua menjaga tanah kaum
Parahyang
Sedangkan istilah
"perang" menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan
sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal
ini makin dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng pertahanan Kasultanan
Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur
Cisadane. Keberadaan benteng tersebut juga menjadi dasar bagi sebutan daerah
sekitarnya (Tangerang) sebagai daerah Beteng. Hingga masa pemerintahan
kolonial, Tangerang lebih lazim disebut dengan istilah "Beteng".
Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat, sekitar tahun 1652, benteng pertahanan kasultanan
Banten didirikan oleh tiga maulana (Yudhanegara, Wangsakara dan Santika) yang
diangkat oleh penguasa Banten. Mereka mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan
sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan
Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga
pimpinan (tiga tiang/pemimpin). Mereka mendapat mandat dari Sultan Agung
Tirtoyoso (1651-1680) melawan VOC yang mencoba menerapkan monopoli dagang yang
merugikan Kesultanan Banten. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga
maulana tersebut berturut-turut gugur satu persatu.
Perubahan sebutan
Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai
oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada
tanggal 17 April 1684. Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda.
Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda (bule)
tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di
antaranya ditempatkan di sekitar beteng. Tentara kompeni yang berasal dari
Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut "Tangeran"
dengan "Tangerang". Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan
hingga kini.
Sebutan
"Tangerang" menjadi resmi pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1945. Pemerintah Jepang melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta
(Jakarta Ken) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan
pangkat Tihoo Nito Gyoosieken seperti termuat dalam Po No. 34/2604. Terkait
pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang tersebut, Panitia Hari Jadi
Kabupaten Tangerang kemudian menetapkan tanggal tersebut sebagai hari lahir
pemerintahan Tangerang yaitu pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya
penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang
Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar