ANAK
AUTIS
Autisme
adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan
diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak
bayi berusia 6 bulan. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang
merupakan bagian dari Kelainan Spektrum
Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan
salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung Gangguan
Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder (PDD).
Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi
selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang
autisme.[2]
Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Deteksi
dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan
dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup,
walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi
Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi
Sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman
dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya
tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara.
Karakteristik
yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan
membina hubungan sosial,
berkomunikasi
secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.
Seseorang
dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih dari
karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif,
kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang
repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal. Di Amerika
Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak
lelaki dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak
keturunan Eropa Amerika
dibandingkan yang lainnya.[5] Di
Indonesia, pada tahun 2013
diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia
5-19 tahun.[6]
Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara
1000 orang mengidap autisme.[6]mal.[
Gejala-gejala
autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu,
yaitu sosial, komunikasi,
dan tingkah laku yang berulang.[7]
Anak
dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan
kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima
panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari,
menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain)
atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang
dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang
berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal
lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon
yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya;
suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu
dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan
karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang
autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.- Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan
memahami bahasa.
- Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau
obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
- Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara
tidak wajar.
- Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan
yang dikenali.
- Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya
pola-pola perilaku yang tertentu
Terlepas dari berbagai karakteristik
di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi
untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika
Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya
evaluasi lebih lanjut :
- Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
- Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan
- Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16
bulan
- Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan
di usia 24 bulan
- Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi
sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas
tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena
karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang
memahami persoalan autisme.
Dokter
spesialis yang cocok untuk mendeteksi Autisme adalah Dokter Spesialis Anak
(Sp.A) yang dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk
mengetahui antara lain tingkat kecerdasan Balita, Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui antara lain
pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap suara atau bahkan tidak
dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita Autisme, padahal bukan.
Simtoma
klinis menurut DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal
2):
1.
Tidak mampu menjalin interaksi
sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang
tertuju
2.
Kesulitan bermain dengan teman
sebaya
3.
Tidak ada empati, perilaku berbagi
kesenangan/minat
4.
Kurang mampu mengadakan hubungan
sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal
1):
1.
Tidak/terlambat bicara, tidak
berusaha berkomunikasi non verbal
2.
Bisa bicara tapi tidak untuk
komunikasi/inisiasi, egosentris
3.
Bahasa aneh &
diulang-ulang/stereotip
4.
Cara bermain kurang
variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel
dan bermain imaginatif (minimal 1):
1.
Mempertahankan 1 minat atau lebih
dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2.
Terpaku pada suatu kegiatan
ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3.
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas
dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari
suatu benda
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate)
hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari
seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian
di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak
dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang
rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku
menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan
rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism.
Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi,
mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan
kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning
autism. Dua dikotomi
dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi
pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para
penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para
ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan
strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi
mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80%
anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau
nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan
prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan
sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
- Childhood
Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak
yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada
pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi
berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
- The
Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18
bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
- The
Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
- The
Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan
pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan
konsentrasi.
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum
diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan
beberapa hipotesa
mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah
faktor genetik
atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.[8]
Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme
walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.[7] Riset yang dilakukan
terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar
identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan
untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.[7] Hal
ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab
anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya
memiliki gen yang 50% sama.[7]
Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR
yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme
mulai terlihat.[9]
Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia
bernama thimerosal yang digunakan untuk
mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri.[9]
Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme
pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan
oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah
diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.[9]
Penanganan autisme
Intensitas
dari treatment perilaku pada anak
dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang
ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa
mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan
persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:- Kurangnya
tenaga terapis
yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi
sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme
dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan
pendidikan anak mereka sendiri.
- Belum
adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan
hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya
tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
- Masih
banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak
menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang
dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi
mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal
yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar
secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
- Belum
terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah.
Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan
ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam
sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah
diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
- Permasalahan
akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara
klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically
Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme
di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang
besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis
tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi
percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi
proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam
memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan
ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka
informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang
bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di
Indonesia.
Terapi
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke
waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan
perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan
apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para
ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada
hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis,
misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang
komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi
(Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta
memodifikasi perilaku.Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational Treatment,
meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang
prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering
disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku
Intensif.
- Pendekatan
developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
- TEACCH (Treatment and
Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
- Biological Treatment,
meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian
obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas,
hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- Speech –
Language Therapy
(Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan
gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- Komunikasi,
peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange
Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar
dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- Pelayanan
Autisme Intensif, meliputi kerja
team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah,
sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
- Terapi yang
bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational
Therapy (OT), dan
Auditory Integration Training (AIT).
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat.
Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya
dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry
Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington.
Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat
dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center
for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme
dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian
Frombonne (Study Frombonne: 2003)
menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum
Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate
dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika
Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum
telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki
dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya
belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian
mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’
yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama
dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan
ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat
melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan
beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:- Genetic susceptibility –
different genes may be responsible in different families
- Chromosome 7 – speech /
language chromosome
- Variety of problems in pregnancy at birth or even
after birth
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?
Perkembangan penelitian autisme
Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal
Amerika Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.[10]
Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of
Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang
memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai "autisme".[10]
Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan
terbelakang bukan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan.[10]
Hasil penelitian yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak
perkembangan penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat terhadap
anak-anak yang menderita autisme.Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
- Rimland (1964): Meneliti
karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti:
pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti
penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
- Bettelheim (1967): Ide
penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile
Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena
pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia
menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress
berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil
pekerjaannya tersebut.
- Delacato (1974): Autisme
disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi
maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini
kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
- Lovaas (1987): Mengaplikasikan
teori Skinne dan menerapkan Behavior
Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak
dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi
anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program
Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku
yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal
psikologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar